Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Umurku
dua belas, duduk di lorong rumah sakit sendirian, menangis terisak. Di ruangan
berjarak sepuluh meter dariku, Bapak menunaikan kebaikan terakhir. Aku selalu
tahu – sebagaimana seluruh penduduk tepian Kapuas tahu – Bapak adalah orang
baik yang pernah kukenal. Aku tidak tahu apakah ubur-ubur yang membuatnya
meninggal atau pisau bedah dokter. Dia boleh jadi masih bisa siuman,
diselamatkan, bukan? Mukjizat bisa datang kapan saja, bukan?
Borno ~sang tokoh utama~ tak pernah memahami keputusan bapaknya yang dalam
kondisi kritis menyetujui untuk mendonorkan jantungnya. Dia sangat menyesali
keputusan doktor yang mengoperasi bapaknya, saat dia yakin bapaknya masih
hidup.
Menjalani hidup sebagai anak yatim, memang berat bagi Borno. Beruntung dia memiliki Bapak yang baik dan mewariskan sahabat-sahabat yang baik : Pak Tua, Cik Tulani dan Koh Acong. Mereka, khususnya Pak Tua, bagaikan pengganti ayah bagi Borno.
Selepas SMA, Borno harus rela melepas impiannya untuk bisa kuliah karena ketiadaan biaya. Selanjutnya, demi menunjang kelangsungan hidupnya dan ibunya, Borno memutuskan untuk bekerja. Berbagai pekerjaan telah dilakoninya, mulai dari bekerja di perusahaan karet sampai bekerja serabutan. Kondisi tersebut membuat sahabat-sahabat almarhum bapaknya prihatin. Mereka berunding dengan Ibu Borno untuk mencarikan pekerjaan baginya. Dan, keputusannya adalah.. menjadi pengemudi sepit.
Awalnya Borno menolak untuk menjadi pengemudi sepit. Dia teringat akan wasiat bapaknya yang melarangnya menjadi nelayan ataupun pengemudi sepit. Setelah dibujuk oleh Ibunya dan juga sahabat-sahabat Bapaknya, dan juga karena tak ada pilihan pekerjaan lainnya, Borno pun menjalani pekerjaan itu.
Pontianak memang berbeda dari kota-kota lainnya di Indonesia. Sungai Kapuas yang membelah kota, membuat Pontianak sebagai kota air. Itu makanya transportasi air sangat dominan, salah satunya adalah sepit. Yang dimaksud sepit ini adalah perahu kayu, dengan panjang lima meter dan lebar satu meter. Untuk menjalankan sepit ini menggunakan mesin tempel. Meskipun telah dibangun jembatan, namun sepit tetap diminati karena lebih murah, cepat dan praktis dibandingkan dengan naik bus atau opelet.
Perlu waktu satu minggu bagi Borno untuk belajar mengemudikan sepit. Satu minggu yang sangat berat, karena dia harus menjalani masa ”perploncoan” yang dilakukan dengan semena-mena oleh Bang Togar selaku ketua Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta. Namun kesabarannya berbuah manis. Di hari pertama Borno resmi menjalani profesinya sebagai pengemudi sepit, dia mendapat kejutan yang menggembirakan : hadiah sebuah sepit baru. Bang Togar berinisiatif mengumpulkan sumbangan dari para pengemudi sepit, penghuni gang (tempat tinggal Borno) bahkan penumpang sepit, karena dia tahu bahwa Borno belum memiliki sepit sendiri.
Dengan menjalani hidup sebagai pengemudi sepit, maka Borno menghabiskan sebagian besar waktunya di atas Sungai Kapuas. Tak bisa dipungkiri bahwa Kapuas telah merekam begitu banyak potongan perjalan hidup seorang Borno, termasuk cinta pertamanya. Cinta (dalam pandangan) pertama terhadap penumpang sepitnya, seorang gadis peranakan Tionghoa. Cinta yang bermula dari sepucuk amplop merah, yang ditemukan di dalam sepit pada hari pertamanya bekerja.
Menganggap surat itu penting dan special, maka Borno berusaha keras menemukan pemilik amplop merah tanpa nama dan dilem rapi itu. Setelah dua hari berusaha, akhirnya Borno berhasil menemukan pemilik amplop itu. Namun, justru rasa kecewa menggelayutinya setelah tahu bahwa ternyata amplop merah itu tidak penting. Itu ”hanyalah” amplop angpau biasa seperti angpau yang diterima pengemudi sepit lainnya.
Pertemuan Borno dengan pemilik amplop merah itu benar-benar membuat kebat-kebit hati anak lelaki berhati paling lurus sepanjang tepian Kapuas (demikianlah julukan untuk Borno). Dia menyusun strategi agar setiap hari dapat membawa gadis pujaannya menyeberangi Sungai Kapuas dengan sepitnya. Setelah beberapa hari gagal, akhirnya dia berhasil juga.
Sayangnya, kesempatan untuk bisa lebih dekat dengan sang pujaan hati tak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Borno. Rasa malunya membuatnya tak mampu berkata-kata setiap berdekatan dengan sang pujaan hati yang ternyata guru SD di sebuah yayasan yang terkenal di Pontianak. Bahkan untuk sekedar menanyakan nama pun, dia tak ragu. Setelah sekian lama, barulah Borno tahu nama gadis itu : Mei.
Kisah asmara Borno dan Mei tidak berjalan mulus. Hubungan mereka mengalami pasang surut. Beberapa kali Mei tiba-tiba menghilang dan sulit dihubungi. Apalagi Ayah Mei ternyata jelas-jelas menentang kedekatan mereka berdua. Bahkan tanpa sepengetahuan Mei, sang Ayah telah melarang Borno untuk menemui Mei lagi.
Terlepas dari urusan asmara, sedikit demi sedikit Borno berhasil memperbaiki nasib. Setelah beberapa tahun menjadi pengemudi sepit, Borno menjadi montir kepercayaan Bapaknya Andi, sahabatnya sendiri. Keahlian Borno dalam memperbaiki mesin diperoleh secara otodidak. Dia belajar sendiri melalui buku. Selama menunggu mengangkut penumpang, dia selalu meluangkan waktu untuk membaca buku tentang mesin. Itulah yang membedakannya dengan pengemudi sepit lainnya. Dia punya mimpi dan semangat untuk maju.
Bengkel Bapaknya Andi lebih maju setelah Borno ikut bekerja disana. Hal itu mendorong semangat Bapaknya Andi untuk mengembangkan bengkelnya, apalagi terdorong impian Borno. Diambillah keputusan bekerja sama dengan Borno untuk membeli bengkel yang ada di pusat kota. Demi membeli bengkel itu, Bapaknya Andi harus rela menguras semua tabungannya bahkan menjual rumah dan peralatan bengkelnya. Sementara Borno harus rela menjual sepitnya.
Sayangnya, di saat semangat mereka begitu menggebu untuk mengembangkan usaha, namun nasib berkata lain. Mereka ditipu dan uang mereka dibawa kabur oleh penipu yang mengaku sebagai pemilik bengkel itu. Bapaknya Andi jadi stress berat dan sehari-hari hanya duduk mematung tanpa melakukan apapun. Sementara itu, Borno dan Andi harus berjuang untuk tetap menjalankan bengkel meskipun dengan peralatan seadanya.
Pada saat Mei tak ada kabar, muncullah sosok baru dalam hidup Borno : Sarah, seorang dokter gigi yang cemerlang. Sama seperti Mei, Sarah adalah gadis peranakan Tionghoa yang tidak memandang rendah Borno karena statusnya sebagai pengemudi sepit. Berbeda dengan Mei yang sendu dan misterius, Sarah adalah wanita yang periang.
Kehadiran Sarah dan keluarganya membawa nuansa baru bagi Borno, Ibunya dan orang-orang terdekatnya. Semua menerima dengan suka cita kehadiran Sarah yang periang beserta keluarga besarnya. Ibu beserta Pak Tua senang jika Borno dan Sarah bisa lebih dekat. Bahkan, Ibu Sarah pun senang menggoda anaknya yang tampak semangat setiap kali berurusan dengan Borno.
Borno diombang-ambingkan pada kebimbangan. Di saat keluarga mendukung hadirnya Sarah dalam kehidupan mereka, justru Mei kian sulit didekati dan semakin misterius. Berulang kali Borno mencoba menemui Mei untuk menanyakan alasan mengapa Mei menjauhinya. Namun tak sekalipun usahanya membuahkan hasil. Bahkan, Mei akhirnya memilih untuk meninggalkan Pontianak dan pulang ke Surabaya.
Setelah hampir setahun menunggu Mei kembali, Borno dikejutkan dengan berita bahwa Mei sakit parah. Yang mengejutkan Borno, ternyata alasan di balik sikap misterius Mei selama ini sudah ada di depan mata sekian lama dan tak pernah disadarinya. Setelah Borno mendapatkan semua jawaban yang ingin diketahuinya, Borno harus segera menentukan pilihan yang penting bagi hidupnya.
Membaca novel ini, seakan kita melihat sesuatu yang nyata ada di depan mata. Pendeskripsiannya bagus, sehingga kita seakan bisa melihat apa yang tengah terjadi. Menurutku, deskripsinya pas, tidak berlebihan dan tidak membosankan. Seringkali aku membaca tulisan yang deskripsinya begitu detil sehingga malah membosankan, dan aku tidak menemukan hal itu dalam novel ini.
Tere Liye berhasil mempermainkan perasaanku melalui perubahan emosi sang tokoh yang turun naik dengan cepat. Rasa sedih, bahagia, putus asa, haru, kecewa dan sebagainya silih berganti dengan cepat menguasai hati tokohnya. Di saat kita sedang merasakan kebahagiaan sang tokoh, tiba-tiba kita dihadapkan dengan peristiwa menyedihkan yang dialaminya kemudian, demikian juga sebaliknya.
Greget dari novel ini adalah adanya ”misteri” yang disajikan di dalamnya. Yang pertama tentu saja misteri tentang sepucuk amplop merah yang ternyata ”hanya” angpau biasa. Selanjutnya, misteri dari sikap Mei yang berubah-ubah serta wajahnya yang senantiasa sendu. Juga misteri dari sikap Bapak Mei yang melarang hubungan sang anak dengan Borno dengan alasan yang sangat tidak jelas. Semua misteri itu terjawab dengan cantik di akhir cerita.
Selain itu, ada nilai tambah dari novel itu, yaitu adanya petuah dan nasehat yang dihadirkan lewat tokoh Pak Tua. Melalui nasehat yang diberikan Pak Tua, rasanya kita tak perlu lagi merasakan hidup ini sebagai beban yang berat. Karena sesungguhnya hidup sangat bisa dinikmati, walaupun dalam keadaan tidak menyenangkan sekalipun.
Sayangnya, dalam novel ini aku masih menemukan sedikit salah ketik. Untungnya salah ketiknya tidak banyak, sehingga tidak terlalu mengganggu keasyikan membacanya. Selain itu, alur cerita yang terkadang melompat-lompat karena sesekali flashback bisa membuat orang yang tidak telaten membaca jadi malas.
Secara keseluruhan novel ini sangat mengasyikkan untuk dibaca. Aku rekomendasikan novel ini sebagai pilihan bacaan. Aku yakin, sama sepertiku, pasti siapapun takingin menutup novel ini sebelum tahu akhir ceritanya.
Menjalani hidup sebagai anak yatim, memang berat bagi Borno. Beruntung dia memiliki Bapak yang baik dan mewariskan sahabat-sahabat yang baik : Pak Tua, Cik Tulani dan Koh Acong. Mereka, khususnya Pak Tua, bagaikan pengganti ayah bagi Borno.
Selepas SMA, Borno harus rela melepas impiannya untuk bisa kuliah karena ketiadaan biaya. Selanjutnya, demi menunjang kelangsungan hidupnya dan ibunya, Borno memutuskan untuk bekerja. Berbagai pekerjaan telah dilakoninya, mulai dari bekerja di perusahaan karet sampai bekerja serabutan. Kondisi tersebut membuat sahabat-sahabat almarhum bapaknya prihatin. Mereka berunding dengan Ibu Borno untuk mencarikan pekerjaan baginya. Dan, keputusannya adalah.. menjadi pengemudi sepit.
Awalnya Borno menolak untuk menjadi pengemudi sepit. Dia teringat akan wasiat bapaknya yang melarangnya menjadi nelayan ataupun pengemudi sepit. Setelah dibujuk oleh Ibunya dan juga sahabat-sahabat Bapaknya, dan juga karena tak ada pilihan pekerjaan lainnya, Borno pun menjalani pekerjaan itu.
Pontianak memang berbeda dari kota-kota lainnya di Indonesia. Sungai Kapuas yang membelah kota, membuat Pontianak sebagai kota air. Itu makanya transportasi air sangat dominan, salah satunya adalah sepit. Yang dimaksud sepit ini adalah perahu kayu, dengan panjang lima meter dan lebar satu meter. Untuk menjalankan sepit ini menggunakan mesin tempel. Meskipun telah dibangun jembatan, namun sepit tetap diminati karena lebih murah, cepat dan praktis dibandingkan dengan naik bus atau opelet.
Perlu waktu satu minggu bagi Borno untuk belajar mengemudikan sepit. Satu minggu yang sangat berat, karena dia harus menjalani masa ”perploncoan” yang dilakukan dengan semena-mena oleh Bang Togar selaku ketua Paguyuban Pengemudi Sepit Kapuas Tercinta. Namun kesabarannya berbuah manis. Di hari pertama Borno resmi menjalani profesinya sebagai pengemudi sepit, dia mendapat kejutan yang menggembirakan : hadiah sebuah sepit baru. Bang Togar berinisiatif mengumpulkan sumbangan dari para pengemudi sepit, penghuni gang (tempat tinggal Borno) bahkan penumpang sepit, karena dia tahu bahwa Borno belum memiliki sepit sendiri.
Dengan menjalani hidup sebagai pengemudi sepit, maka Borno menghabiskan sebagian besar waktunya di atas Sungai Kapuas. Tak bisa dipungkiri bahwa Kapuas telah merekam begitu banyak potongan perjalan hidup seorang Borno, termasuk cinta pertamanya. Cinta (dalam pandangan) pertama terhadap penumpang sepitnya, seorang gadis peranakan Tionghoa. Cinta yang bermula dari sepucuk amplop merah, yang ditemukan di dalam sepit pada hari pertamanya bekerja.
Menganggap surat itu penting dan special, maka Borno berusaha keras menemukan pemilik amplop merah tanpa nama dan dilem rapi itu. Setelah dua hari berusaha, akhirnya Borno berhasil menemukan pemilik amplop itu. Namun, justru rasa kecewa menggelayutinya setelah tahu bahwa ternyata amplop merah itu tidak penting. Itu ”hanyalah” amplop angpau biasa seperti angpau yang diterima pengemudi sepit lainnya.
Pertemuan Borno dengan pemilik amplop merah itu benar-benar membuat kebat-kebit hati anak lelaki berhati paling lurus sepanjang tepian Kapuas (demikianlah julukan untuk Borno). Dia menyusun strategi agar setiap hari dapat membawa gadis pujaannya menyeberangi Sungai Kapuas dengan sepitnya. Setelah beberapa hari gagal, akhirnya dia berhasil juga.
Sayangnya, kesempatan untuk bisa lebih dekat dengan sang pujaan hati tak dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Borno. Rasa malunya membuatnya tak mampu berkata-kata setiap berdekatan dengan sang pujaan hati yang ternyata guru SD di sebuah yayasan yang terkenal di Pontianak. Bahkan untuk sekedar menanyakan nama pun, dia tak ragu. Setelah sekian lama, barulah Borno tahu nama gadis itu : Mei.
Kisah asmara Borno dan Mei tidak berjalan mulus. Hubungan mereka mengalami pasang surut. Beberapa kali Mei tiba-tiba menghilang dan sulit dihubungi. Apalagi Ayah Mei ternyata jelas-jelas menentang kedekatan mereka berdua. Bahkan tanpa sepengetahuan Mei, sang Ayah telah melarang Borno untuk menemui Mei lagi.
Terlepas dari urusan asmara, sedikit demi sedikit Borno berhasil memperbaiki nasib. Setelah beberapa tahun menjadi pengemudi sepit, Borno menjadi montir kepercayaan Bapaknya Andi, sahabatnya sendiri. Keahlian Borno dalam memperbaiki mesin diperoleh secara otodidak. Dia belajar sendiri melalui buku. Selama menunggu mengangkut penumpang, dia selalu meluangkan waktu untuk membaca buku tentang mesin. Itulah yang membedakannya dengan pengemudi sepit lainnya. Dia punya mimpi dan semangat untuk maju.
Bengkel Bapaknya Andi lebih maju setelah Borno ikut bekerja disana. Hal itu mendorong semangat Bapaknya Andi untuk mengembangkan bengkelnya, apalagi terdorong impian Borno. Diambillah keputusan bekerja sama dengan Borno untuk membeli bengkel yang ada di pusat kota. Demi membeli bengkel itu, Bapaknya Andi harus rela menguras semua tabungannya bahkan menjual rumah dan peralatan bengkelnya. Sementara Borno harus rela menjual sepitnya.
Sayangnya, di saat semangat mereka begitu menggebu untuk mengembangkan usaha, namun nasib berkata lain. Mereka ditipu dan uang mereka dibawa kabur oleh penipu yang mengaku sebagai pemilik bengkel itu. Bapaknya Andi jadi stress berat dan sehari-hari hanya duduk mematung tanpa melakukan apapun. Sementara itu, Borno dan Andi harus berjuang untuk tetap menjalankan bengkel meskipun dengan peralatan seadanya.
Pada saat Mei tak ada kabar, muncullah sosok baru dalam hidup Borno : Sarah, seorang dokter gigi yang cemerlang. Sama seperti Mei, Sarah adalah gadis peranakan Tionghoa yang tidak memandang rendah Borno karena statusnya sebagai pengemudi sepit. Berbeda dengan Mei yang sendu dan misterius, Sarah adalah wanita yang periang.
Kehadiran Sarah dan keluarganya membawa nuansa baru bagi Borno, Ibunya dan orang-orang terdekatnya. Semua menerima dengan suka cita kehadiran Sarah yang periang beserta keluarga besarnya. Ibu beserta Pak Tua senang jika Borno dan Sarah bisa lebih dekat. Bahkan, Ibu Sarah pun senang menggoda anaknya yang tampak semangat setiap kali berurusan dengan Borno.
Borno diombang-ambingkan pada kebimbangan. Di saat keluarga mendukung hadirnya Sarah dalam kehidupan mereka, justru Mei kian sulit didekati dan semakin misterius. Berulang kali Borno mencoba menemui Mei untuk menanyakan alasan mengapa Mei menjauhinya. Namun tak sekalipun usahanya membuahkan hasil. Bahkan, Mei akhirnya memilih untuk meninggalkan Pontianak dan pulang ke Surabaya.
Setelah hampir setahun menunggu Mei kembali, Borno dikejutkan dengan berita bahwa Mei sakit parah. Yang mengejutkan Borno, ternyata alasan di balik sikap misterius Mei selama ini sudah ada di depan mata sekian lama dan tak pernah disadarinya. Setelah Borno mendapatkan semua jawaban yang ingin diketahuinya, Borno harus segera menentukan pilihan yang penting bagi hidupnya.
Membaca novel ini, seakan kita melihat sesuatu yang nyata ada di depan mata. Pendeskripsiannya bagus, sehingga kita seakan bisa melihat apa yang tengah terjadi. Menurutku, deskripsinya pas, tidak berlebihan dan tidak membosankan. Seringkali aku membaca tulisan yang deskripsinya begitu detil sehingga malah membosankan, dan aku tidak menemukan hal itu dalam novel ini.
Tere Liye berhasil mempermainkan perasaanku melalui perubahan emosi sang tokoh yang turun naik dengan cepat. Rasa sedih, bahagia, putus asa, haru, kecewa dan sebagainya silih berganti dengan cepat menguasai hati tokohnya. Di saat kita sedang merasakan kebahagiaan sang tokoh, tiba-tiba kita dihadapkan dengan peristiwa menyedihkan yang dialaminya kemudian, demikian juga sebaliknya.
Greget dari novel ini adalah adanya ”misteri” yang disajikan di dalamnya. Yang pertama tentu saja misteri tentang sepucuk amplop merah yang ternyata ”hanya” angpau biasa. Selanjutnya, misteri dari sikap Mei yang berubah-ubah serta wajahnya yang senantiasa sendu. Juga misteri dari sikap Bapak Mei yang melarang hubungan sang anak dengan Borno dengan alasan yang sangat tidak jelas. Semua misteri itu terjawab dengan cantik di akhir cerita.
Selain itu, ada nilai tambah dari novel itu, yaitu adanya petuah dan nasehat yang dihadirkan lewat tokoh Pak Tua. Melalui nasehat yang diberikan Pak Tua, rasanya kita tak perlu lagi merasakan hidup ini sebagai beban yang berat. Karena sesungguhnya hidup sangat bisa dinikmati, walaupun dalam keadaan tidak menyenangkan sekalipun.
Sayangnya, dalam novel ini aku masih menemukan sedikit salah ketik. Untungnya salah ketiknya tidak banyak, sehingga tidak terlalu mengganggu keasyikan membacanya. Selain itu, alur cerita yang terkadang melompat-lompat karena sesekali flashback bisa membuat orang yang tidak telaten membaca jadi malas.
Secara keseluruhan novel ini sangat mengasyikkan untuk dibaca. Aku rekomendasikan novel ini sebagai pilihan bacaan. Aku yakin, sama sepertiku, pasti siapapun takingin menutup novel ini sebelum tahu akhir ceritanya.
Pengarang
: Tere Liye
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Ketiga (April 2012)
Tebal : 512 halaman
Harga : Rp. 72.000
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Ketiga (April 2012)
Tebal : 512 halaman
Harga : Rp. 72.000
0 comments:
Posting Komentar