Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Umurku
dua belas, duduk di lorong rumah sakit sendirian, menangis terisak. Di ruangan
berjarak sepuluh meter dariku, Bapak menunaikan kebaikan terakhir. Aku selalu
tahu – sebagaimana seluruh penduduk tepian Kapuas tahu – Bapak adalah orang
baik yang pernah kukenal. Aku tidak tahu apakah ubur-ubur yang membuatnya
meninggal atau pisau bedah dokter. Dia boleh jadi masih bisa siuman,
diselamatkan, bukan? Mukjizat bisa datang kapan saja, bukan?
Borno ~sang tokoh utama~ tak pernah memahami keputusan bapaknya yang dalam
kondisi kritis menyetujui untuk mendonorkan jantungnya. Dia sangat menyesali
keputusan doktor yang mengoperasi bapaknya, saat dia yakin bapaknya masih
hidup.
Read More →
0 comments:
Posting Komentar